budaya mudik

Oleh Prof. Dr. Misri A. Muchsin, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
MUDIK (pulang atau kembali ke kampung halaman) menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri (terkadang juga lebaran Hari Raya Haji atau Idul Adha) setiap tahunnya menjadi satu fenomena masyarakat Muslim modern di berbagai belahan dunia. Tradisi ini mengasyikkan. Betapa tidak, setelah beberapa lama merantau di “negeri” orang --jauh dari orang tua dan sanak kerabat lainnya-- kerap menimbulkan kerinduan akan kampung halaman atau tanah kelahiran.
Keinginan untuk berjumpa kembali dengan orang-orang terdekat yang telah lama (minimal satu tahun terakhir) ditinggalkan itu lumrah adanya dan menjadi harapan semua pihak. Oleh karenanya mudik menjadi yang sesuatu didambakan banyak orang. Terlebih pada hari baik dan bulan baik menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.

               Fenomena mudik bukan hanya masyarakat Aceh, tetapi masyarakat Muslim Indonesia dan malah muslim dunia juga melakukannya. Berapa banyak TKI-TKW dan mahasiswa yang kembali ke Indonesia pada masa-masa jelang lebaran, misalnya dari Malaysia, Singapura, Korea, dan malah dari Arab Saudi serta Negara-negara Timur Tengah lainnya. Begitu juga dengan orang-orang Maghrib (Marokko), Tunisia dan Aj-Jazair yang bekerja di negara-negara lain di Eropa, Amerika dan di negara-negara Timur Tengah sendiri, mereka juga pulang kampung atau mudik pada hari-hari baik, khususnya pada menjelang lebaran Idul Fitri.

                 Mereka pulang mulai yang menggunakan pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api, sampai mobil dan sepeda motor, sehingga kadang-kadang jalan menjadi penuh sesak dan macet. Pertanyaannya, bagaimana perspektif syariat Islam dalam hal mudik? Adakah anjuran atau larangan soal pulang kampung tersebut?
Dalam hal ini, jika dicermati satu firman Allah Swt berikut: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)
              
                 Dalam ayat tersebut di atas, Allah Swt dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, tetangga, teman sejawat dan seterusnya. Dan ini menjadi satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Berbuat baik dimaksudkan antara lain dengan mudik untuk bertemu, bersalaman guna saling memaafkan dan sampai-sampai melepas kerinduan.
Tidak hanya itu bagi pemudik biasanya membawa pulang sejumlah uang dan barang sebagai hasil jerih payahnya selama di perantauan. Pemudik yang baik, biasanya tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga utamanya saja, tetapi juga dia berbagi untuk keluarga dekat, tetangga dan teman sejawat dan seterusnya. Biasanya malah mengadakan kenduri adalah bentuk syukur nikmat dan bersedekah dengan lebih luas dan merata kepada masyarakatnya. Semua itu menjadi daya tarik dan kebanggaan sendiri bagi pemudik, calon perantau lain dan keluarganya.

                    Dari sisi lain lagi, dapat dilihat mudik  sebagai upaya menyambung dan mempererat hubungan silaturrahim. Setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak ngumpul dan tidak melakukan tukar informasi, maka dengan mudik tali silaturrahim akan tersambung. Lebih-lebih bagi orang yang paham akan pentingnya bersilaturrahim, yaitu akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka pilihan untuk mudik menjadi lebih bermakna dan berguna bagi kehidupan seseorang di masa datang, sebagaimana sabda Nabi saw: “Dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkaan umurnya, maka hendaklah ia suka bersilaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

                     Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa dalam perspektif budaya, mudik menjadi tradisi yang terus eksis dan disukai oleh umat Islam dewasa ini. Pada sisi lain, dalam sudut pandang syari’at Islam mudik, paling tidak berhubungan dengan prinsip berbuat baik dan bersilaturrahim, adalah hal-hal yang dianjurkan dalam syariat Islam. Dengan mudik seseorang dapat mengaplikasi bentuk pengabdian dan berbuat baiknya kepada orang tua, anggota keluarga, dan kerabat lainnya. Kemudian dengan mudik pula hubungan silaturrahmi yang selama ini mungkin sudah renggang, dapat terajut kembali dengan baik. Wallahu A’lam bish-shawab!




http://aceh.tribunnews.com/2013/08/02/mudik-dalam-perspektif-budaya-dan-syariat


               Budaya mudik sebenarnya bukanlah hal yang baru di Negara kita saat ini, tapi kita akan menjadi heran ketika melihat peristiwa ini menjadi faktor yang merugikan ataupun faktor yang menguntungkan dan menyenangkan bagi setiap individu masyarakat yang ikut dalam peristiwa ini. Bisa dibayangkan dengan adanya mudik sangat banyak peristiwa yang tidak bisa dilewatkan, entah dari antrian mendapatkan tiket transportasi,antrian di SPBU untuk mendapatkan bahan bakar bagi yang menggunankan kendaraan pribadi,kemancetan dijalan, dan sampai banyaknya kecelakaan kerena bertambah padatnya pengguna jalan dan peristiwa-peristiwa lainnya seperti banyaknya perampokan ketika melihat kejadiaan saat ini atau pemindahan-pemindahan jalur alternatif guna mengurangi jumlah kemancetan yang terjadi. Fenomena yang menarik dari budaya mudik sebenarnya terletak dari bagaimanakah budaya ini muncul dan telah menjadi kebiasaan tahunan yang mapan dimasyarakat kita saat ini.

                 Sebenarnya kalau kita amati secara teliti budaya mudik ini hanya terjadi dikota-kota besar saja khususnya di Jawa, seperti Jakarta(Jabotabek), Surabaya, Bandung maupun Semarang. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa orang-orang ini mudik?, ini bisa terjadi karena rata-rata para pemudik adalah pendatang yang telah bekerja lama di suatu kota ataupun sampai mereka bisa menetap dikota tersebut. Secara tidak langsung mereka-mereka ini(pemudik) masih mempunyai ikatan sanak keluarga ditempat asal mereka. Ini menunjukan bahwa rata-rata kota besar di Indonesia saat ini semakin besar jumlah pendatangya, faktor urbanisasi besar-besaran inilah yang menyebabakan semakin besarnya jumlah pemudik tiap tahun. Dan satu pertanyaan lagi kenapa mereka melakukan urbanisasi?, sudah jelas ini karena faktor pekerjaan, mereka berasumsi bahwa kota besar lebih banyak memberikan mereka kesempatan kerja, karena sampai saat ini industri-industri juga hanya terpusat dikota besar saja. Daya tarik sebuah kotalah yang menyebabkan arus urbanisasi ini terjadi.

                 Bisa disimpulkan bahwa budaya mudik ini sangat berkaitan erat dengan faktor urbanisasi dan khususnya hanya terjadi dikota-kota besar saja. Ini juga menunjukkan bagaimanakah pembangunan saat ini hanya tersentralisasi dibeberapa titik saja. Maka dari itulah sebenarnya budaya mudik ini juga hanya terjadi dinegara-negara berkembang saja, seperti Indonesia saat ini. Karena rata-rata pembangunan dinegara-negara berkembang juga hanya terkonsentrasi dibeberapa kota besar saja, budaya mudik seharusnya menjadi analisa pemerintah bagaimanakah pemerataan pembangunan nantinya bisa dilaksanakan.
Oleh: arif agus Setiawan1

sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/08/budaya-mudik-253513.html 


pendapat saya mudik itu tidak pernah terikat dengan kondisi apapun, selama baik tujuanya maka menggunakan apa saja selama tidak mengganggu kepentingan orang lain biarkan saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CAD/CAM ADALAH

(etika profesi) ETIKA PROFESI BIDANG TEKNIK MESIN

STANDARD TEKNIK v AMERICAN SOCIETY OF MECHANICAL ENGINEERING (ASME)